Jumat, 20 Maret 2015

Dan Jiwaku Tertambat Pada Bulan

Dulu sekali, entah kapan tepatnya aku tidak bisa mengingatnya lagi. Tepat di persimpangan itu, persimpangan Jalan Tentara Pelajar tempat sekolahku dulu tegak berdiri aku berpapasan dengan seorang gadis yang menurutku biasa saja tapi menarik. Dia masih berseragam merah putih kala itu, rambut ikal dikuncir dua menenteng tas hijau muda yang gambarnya abstrak (sebenarnya aku tidak mengenali gambar itu), tiba tiba menjerit dan berlari ke arahku.
“Ada ular tadi..” katanya terengah engah
ku pegang bahunya dan bertanya “Dimana..?”
masih terengah dia hanya menunjuk ke arah selokan samping jalan dia berjalan barusan.
“Tapi ularnya sudah pergi kan..?” tanyaku lembut. Dia mengangguk dan lalu aku menggandeng tangannya mengajaknya berjalan. Hari itu indah sekali menurutku, ku antar dia sampai gerbang sekolahnya dan dia melambai sambil tersenyum. Ku lekat menatapnya, sambil mengingat gerak gerak imut bibirnya ketika bicara, tersenyum dan manyun.
“IIh namaku Bulan, bukan berarti bulan bulanan donk Om” aku terkekeh kala itu, aku yang berseragam putih abu-abu di panggil om.
Dan sejak hari itu, aku suka iseng menunggu Bulan berangkat ke sekolahnya di persimpangan. Berlanjut begitu sampai akhirnya ku lulus SMA dan harus melanjutkan kuliah di Jakarta, part time. Karena aku juga harus bekerja demi keluargaku tapi aku tidak ingin pendidikanku terbengkalai maka dari itu aku rela banting tulang kuliah sambil kerja.
Sejak hari dimana aku bertemu dengan Bulan belum pernah ada satu gadis singgah di hatiku, pertemanan dengan beberapa gadis sering lah tapi tidak ada yang semenarik Bulan.
Itu bulan sabit, tersenyum menyapa pekat malam tanpa ragu. Mengajakku bermemori kepada Bulan yang entah dimana dia sekarang. Malam harinya sesaat kejadian pagi di persimpangan aku bertemu lagi dengan Bulan, dia bersama ibunya sedang berjalan jalan membeli gorengan pinggir jalan tempatku dan teman-teman nongkrong. Dia menyapaku “Om” (lagi) spontan aku jadi bahan tertawaan teman-teman
“Lo dah kumisan si Ndra, jadi dipanggil om.. haa haa” tawa Heru di susul yang lainnya.
Aku cuek saja sambil tersenyum sipu menatap Bulan, dia manis.
Dan ketika ku pulang malam sudah begitu larut, senyum Bulan mengajakku terus terjaga, mengajakku berandai andai ke masa depan yang begitu jauh yang mungkin masih sangat jauh untuk Bulan. Ku bayangkan seperti apa rupa Bulan ketika menjadi istriku nanti, memanggilku “Ayah” dan aku memanggilnya “Bunda” itu sweet sekali. Haa haa
Menggandeng tangannya setiap hari, memebelai rambut ikalnya semauku dan menciuminya sesuka hatiku.
“OOUUGHT..” aku memeluk guling erat-erat membayangkan Bulan istriku sedang ku peluk.
Pernah sekali aku mengajak Bulan pergi ke taman komplek, di hari Minggu beberapa minggu setelah pertemuan di persimpangan itu. Dia masih saja memanggilku “Om” tetapi aku cuek bahkan mungkin aku menikmatinya. Dia gadis manis pertama yang menarik perhatianku, dia gadis pertama yang pernah ku antar sampai ke gerbang sekolahnya dan dia pula gadis pertama yang memanggilku “Om”
menurutku itu indah, indah yang sederhana.
Tetapi sebesar apapun kegamumanku pada seorang Bulan aku tak berani menaruh hati padanya. Jika aku mencintainya berarti aku egois, cukuplah perhatianku ini menjadi rasa nyaman untukku. Bukan cinta tapi nyaman yang mungkin nantinya kan melebihi perasaan cinta.
Kini aku sudah lulus dari study ku, gelar insinyur sudah tersematkan di depan namaku, saatnya ku melancong mengepakkan sayap kesuksesanku sebagai seorang insinyur.
Itu gedung perkantoran yang pertama ku gambar dulu ketika ku masih menimba ilmu di universitas dan kini ku bekerja di dalamnya, bekerja dalam gedung rancanganku sendiri. Itu sangat membanggakan untukku terlebih orangtuaku.
Dingin AC menyambutku ketika ku membuka pintu ruang kerjaku, terasa begitu sejuk setelah melewati jalan jakarta yang begitu berdebu. Ku lihat kalender dan ternyata 2 hari lagi adalah hari ulang tahunku, tak terasa usiaku sudah semakin tua dan sampai kini belum ada gadis yang menarikku semenarik senyum Bulan. Oh Tuhan, dimana Bulan ingin rasanya ku mewujudkan mimppiku memperistri Bulan memberikan rasa nyaman melebihi perasaan cinta untuk Bulan.
Ide gila menghampiri otakku, Chandra ini tahun 2014 men.. kenapa harus pusing mencari seseorang terlebih Bulan tinggal satu komplek denganku. Yups.. spontan ku hubungi Nana adikku yang masih diam di kampung karena malas merantau dan lebih memilih berbisnis di sekitar rumah sambil menjaga orangtua.
Ku minta dia melacak keberadaan Bulan yang tinggal tidak jauh dari komplek rumah. Seminggu dua minggu masih juga belum ada kabar, tak sabar akhirnya weekend ini aku memutuskan pulang kampung. Demi menjemput Bulan calon istriku. Mungkin aku berlebihan, tapi aku serius.
Ibuku kaget melihatku sudah berdiri di ambang pintu senja hari.
“Chandra..” ibuku sumringah
“Kenapa tak bilang ibu kau mau pulang Nak..?”
Ku peluk ibu erat dan berkata “Kangen Ibu, Bu..”
Ibu wanita pertama yang mengajarkanku tentang rasa nyaman yang melebihi perasaan cinta, Ibuku pulalah yang memintaku segera mencari Bulan. Bukan mencari Bulan, tapi mencari calon istri dan buatku calon istriku adalah Bulan.
Esok harinya aku berjalan-jalan meniti jalan Tentara Pelajar tempatku bersekolah dulu, melewati persimpangan tempatku bertemu pertama kalinya dengan Bulan. Entah kapan ku tak bisa mengingat lagi hari itu.
Matahari hangat menyapa kulit, angin sejuk membelai rambut menerbangkan daun daun kering berserakan di jalan. Di seberang sana, ada gadis tengah berdiri menenteng sebuah tas hijau muda, feminim. Tiba-tiba seorang pria datang dan menyerobot tas gantungnya. Aku berlari menghampirinya dan berusaha merebut tas gantungnya dari pria yang ternyata sangat sangar. Oh tidak pria itu kabur, tetapi untung saja tas gantung itu sudah di tanganku.
Dia memelukku,
“Terima kasih Om”
alisku mengernyit, hatiku berdegup kencang sekali kala itu, “Bulan” batinku.
Dan jiwaku tertambat pada Bulan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar