Kamis, 05 Maret 2015

Hijabers in Love` dan Utopia Islam yang Asyik


Liputan6.com, Jakarta Menonton Hijabers in Love tempo hari, saya teringat tulisan Irshad Manji di majalah Newsweek edisi khusus "Issues 2009" di rak buku saya.
Edisi itu mengupas bagaimana memperbaiki dunia sebagai panduan untuk presiden Amerika yang baru, Barack Obama yang baru terpilih. Yang ditulis Manji--seorang intelektual cum aktivis Islam, seorang lesbian dari Kanada (sekarang tinggal di New York) sering bikin kontroversi karena kerap menggugat doktrin Islam--sebuah esai berjudul "To Fix Islam, Start from the Inside".
Tesis utama Manji, untuk mengikis radikalisme Islam haruslah dimulai dari memperbaiki Islam dari dalam, oleh orang Islam sendiri. Ia lalu mengusulkan Barat menjalin kerjasama dengan negara Islam. Bukan dengan negara di Timur Tengah, tapi nun lebih di timur sana. Ia mengusulkan nama Indonesia.
Manji menulis begini:
"Saya mengusulkan Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di Bumi. Negeri dengan 17 ribu pulau ini sama padatnya dengan seluruh Timur Tengah digabung. Namun, tidak seperti negara-negara Timur Tengah, Indonesia adalah negeri yang memiliki pemilu demokratis dan konstitusinya merayakan 'kebhinekaan dalam kesatuan.' Ini negara yang terdiri dari 300 suku, dengan banyak bahasa, dan punya sejarah toleransi antara Muslim, Kristen, Hindu, dan kaum animisme."
Anda tentu mafhum, Islam di Indonesia, dan pada umumnya di Asia Tenggara, dipercaya kaum cendikia sebagai bentuk Islam yang merupakan campuran atau hibrida dan mudah untuk beradaptasi. Di sini, gagasan Islam dengan mudah bertemu dan berasimilasi atau beraktualisasi dengan budaya setempat dan menghasilkan gambaran Islam yang toleran.
Namun, sebelum mengupas kenapa saya teringat Irshad Manji saat menonton film `Hijabers in Love`, baiknya kita membahas filmnya dahulu.

Boleh rasanya menyebut Hijabers in Love sebagai "Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) versi Rohis." AAdC? Tentu Anda tahu adalah film fenomenal tahun 2001 tentang persahabatan remaja SMA serta lika-liku kehidupan cintanya khas remaja. Sedang Rohis adalah singkatan dari Kerohanian Islam, ekstra kulikuler di SMA yang mengupas Islam lebih jauh. Nah, film ini menggabungkan `AAdC?` dengan Rohis.
Saya menonton lagi `AAdC?` untuk memeriksa dugaan itu, dan ternyata saya benar. `Hijabers in Love` dan `AAdC?` rupanya punya struktur bangunan cerita dan unsur-unsur yang mirip.
Seperti `AAdC?`, film ini dimulai oleh kesibukan di sebuah SMA jelang bel masuk kelas. Seperti `AAdC?` pula, fim ini mengambil tema persahabatan dan cinta anak remaja. Filmnya mempertanyakan, pada akhirnya, apakah cinta harus mengorbankan persahabatan. Tokoh utama pria dua film itu pun mirip: tampan tapi dingin dan bertampang indo.
Sampai ke unsur komikal pun mengingatkan pada `AAdC?`. Di `Hijabers in Love` ada seorang tokoh komikal yang hobinya ngupil. Tokoh ini mengingatkan kita pada karakter komikal Eddie Brokoli di `AAdC?`. Hanya saja, di `Hijabers in Love` tokoh komikal yang kemudian diberi peran lebih penting dari Eddie Brokoli di `AAdC?` malah tampak mengganggu lantaran di setiap kesempatan selalu ngupil. Efek yang saya dapat, alih-alih mengundang tawa, sosok itu malah bikin jijik.
Meski struktur dan sejumlah ramuannya sama, seperti masakan, beda chef akan menghasilkan masakan dengan rasa berbeda pula. Racikan Rudi Soedjarwo di `AAdC?` terasa lebih lancar dibanding Ario Rubbik di `Hijabers in Love`.
Terasa betul unsur-unsur formulaik dari Ario tidak merasuki filmnya sendiri. Tengok, misalnya, selain tokoh komikal yang mengganggu, banyak adegan yang terasa ditempel tanpa memiliki hubungan langsung dengan filmnya. Saya setidaknya mencatat dua adegan macam begitu: pertama adegan murid bercanda di sekolah lalu berlanjut ke cerita filmnya, dan kedua adegan di toko CD saat dua orang bertemu lalu berlanjut ke cerita filmnya. Dua adegan itu, asal dijahit dengan rapi takkan terasa tempelan. Ah, mungkin Ario yang baru membuat dua film (sebelumnya Satu Jam Saja, 2010) hanya butuh jam terbang lebih banyak dan tim editor lebih mumpuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar