Jumat, 20 Maret 2015

Tujuh Tahun

Pacar pertama bukan berarti cinta pertama. Ah, bahkan aku tak mengerti apa itu cinta.
Bel tanda masuk ujian telah berbunyi, sesaat sebelum masuk ruangan ujian, kami telah membicarakan tentang dengan siapa kami akan duduk nanti di dalam kelas. Kami, siswa baru kelas 1C akan duduk bersebelahan dengan kakak kelas 3C. Aku tak peduli, bahkan tentang mata pelajaran yang akan diujikan hari ini saja pun aku sangat tidak peduli.
Hari ini adalah hari pertama aku mengikuti ujian di sekolah menengah pertamaku ini. Ku letakkan kepalaku yang terasa semakin berat di atas meja belajar kelas. Test belum dimulai pun kepalaku sudah terasa sangat berat.
Dengan kepala yang masih kuletakkan di atas meja, aku melihatmu duduk di sampingku. Kau terlihat begitu siap. Duduk dan meletakkan segala macam jenis alat tulismu yang begitu lengkap, tak seperti aku yang hanya membawa sebatang pensil, bolpoin, dan secuil penghapus. Aku tertawa dalam hati, kau pria yang lucu yang telah mempersiapkan segala sesuatu dengan sempurna, begitu jauh berbeda denganku.
Aku memperhatikanmu yang tak sadar jika sedang ku amati. Melihatmu menunggu guru memberikan lembaran soal yang siap untuk kau santap. Kau terlihat begitu cerdas dimataku. Sesuatu yang terlihat menarik untukku. Yang memaksa mataku untuk terus melirik ke arahmu.
Soal telah tertumpuk di hadapan kita. Siap membuat otak dan pikiranku belingsatan. Sembari menunggu bel tanda mengerjakan berbunyi, kita sama-sama memanjatkan doa kepada sang pencipta. Dari situ aku tahu, kita berbeda ajaran. Aku menundukkan kepalaku untuk berdoa memohon kepada penciptaku agar memperoleh kemudahan di hari awal aku mengikuti ujian tengah semester SMP ku. Dan kau, mengaitkan jemari kedua tanganmu untuk memohon kepada Tuhan mu atas permohonan ujian yang sudah sering kau lewatkan di sekolah ini.
Sedikit kecewa. Menyadari kenyataan, kau selangkah menjauh dari khayalanku.
Selesai berdoa, aku gadis kecil yang tak bisa diam dengan berani mananyakan namamu.
“kakak, namanya?”
“ha?” aku tahu pertanyaanku begitu tidak jelas dan ambigu mungkin, hingga kau hanya menjawab dengan sepotong pertanyaan ‘ha?’. Ah begitu lucu dirimu.
“iya, nama kakak siapa?”.
“oh, Evan”. Jawabnya sepotong lagi.
“aku Sita. Nggak Tanya ya? Ya udah”. Aku menyambung. Sengaja membuat pertanyaan dan jawaban sendiri untuk menghibur diri. Sedikit kesal dengan sikapnya yang begitu dingin. Obrolan di hari pertama yang sangat singkat. Tidak seperti teman-temanku yang lain yang telang mengobrol akrab dengan kakak kelas yang duduk di sebelahnya.
Hari pertama berakhir.
Hari ini, hari kedua ujian berlangsung. Dan aku lupa dengan namanya. Kakak kelas yang sedingin kulkas itu. Bel masuk berbunyi, kami pun segera masuk dan menempati kursi kami masing-masing.
Waktu untuk mengisi data diri pada lembar jawab milik kami. Aku berusaha melirik lembar jawab milik kakak kelas di sampingku. ‘Evan Budianto’. Yah. Akan ku ingat namanya.
Hari kedua berlalu, dan sama sekali tidak ada obrolan di antara kami berdua. Begitu pula dengan hari seterusnya.
Hari ini, hari terakhir ujian tengah semester. Betapa bahagianya diriku. Aku merasa seperti melihat cahaya surga setelah sekian lama berjalan di atas panasnya neraka. Baiklah, mungkin itu sedikit berlebihan.
Tak kuduga, saat aku tengah belingsatan mencari jawaban yang benar di antara yang benar dalam lembar soalku, sesuatu yang kuanggap sebagai keajaiban terjadi. mungkin agar pengawas tidak melihatnya jika dia sedang mengajariku, kak evan menunjukkan jawaban untukku dengan bolpoinnya.. Seketika itu aku mengalihkan pandanganku ke arah wajahnya. Dia tersenyum. Manis sekali.
Keajaiban yang kurasakan, untuk pertama kali. Aku jatuh cinta.
Bel tanda ujian berakhir berbunyi. Seharusnya aku bahagia ujian telah selesai. Namun entah mengapa, aku merasa sedikit kecewa, mengapa ujian ini memisahkan aku dengan cinta pertamaku?
Setelah ujian berakhir, aku begitu berubah. Aku begitu bersemangat untuk berangat sekolah. Mencari tempat duduk di kelas yang berdekatan dengan jendela, agar aku bisa melihat kak Evan dari kelasku, karena memang kelas 1C dan 3C berseberangan. Begini rasanya cinta. Mencari-cari alasan untuk keluar kelas agar bisa mengamatinya dari dekat. Degup jantung terasa semakin cepat, dan sulit sekali untuk mengatur napas.
Berbulan-bulan setelahya, Ujian kembali diadakan. Kelas 1C kembali dihadapkan dengan kelas 3C. Aku begitu bahagia. Bukankah aku akan duduk sebangku lagi dengan kak Evan?
Kebahagiaan itu memudar ketika aku memasuki ruangan, dan kak Evan tidak lagi duduk di sampingku, melainkan duduk di depanku. Ah masa bodoh, aku jatuh cinta.
Kutulis kata yang aku tempelkan di bagian atas sepatuku,
‘Kak Evan, boleh minta nomer handphone?’. Lalu aku julurkan kakiku ke depan, ke tempatnya duduk agar kak Evan dapat membacanya.
Beraninya aku. Jantungku seperti ingin meloncat dari rongga dadaku. Aku sesak napas, lemas.
Ujian selesai, aku terus mengamati kak Evan membenahi diri dan bersiap beranjak dari bangkunya. Sebelum pergi, dia meninggalkan secuil kertas di mejaku. Aku membukanya.
Nomor handphone kak Evan. Oh Tuhan, aku sangat jatuh cinta.
Ujian yang lainnya pun menyusul. Ujian kenaikan kelas saat ini, dan aku duduk sendiri tanpa ada kakak kelas 3C di dalam ruangan. Mereka telah lulus, dan aku mendengar kak Evan, cinta pertamaku telah diterima di salah satu sekolah menengah atas terfavorit di Indonesia. Dia terlalu cerdas.
Dia telah mundur selangkah lagi, bertambah jauh untuk ku gapai.
Dua tahun berlalu. Aku kini duduk di bangku kelas 3 SMP. Dan samapai detik ini masih terus mencari kabar tentang kak Evan. Menelusuri namanya di media sosial yang saat itu bernama ‘facebook’. Dan betapa bahagianya aku. Kutemukan namanya, dan segera aku mengirimkan pesan lewat inbox.
Entah berapa lama aku menunggu balasannya. Setidaknya balasan pesannya telah sedikit mengobati rasa rinduku selama 2 tahun terakhir tanpa kabarnya.
Masa SMPku berakhir. Aku berusaha mengejarnya ke sekolah favorit itu, namun langkahku gagal. Aku tidak lolos seleksi untuk bertemu kembali dengan cinta pertamaku.
Aku memasuki masa putih abu-abu. Menikmati masa remaja. Sedikit melupakan nama ‘Evan Budianto’. Mencoba-coba suatu hal yang disebut cinta.
Pacar pertamaku, aku begitu mencintainya, hingga 4 bulan berlalu, dan pacar pertamaku yang begitu kucintai ikut berlalu. Dia lebih memilih pergi bersama seorang wanita yang ternyata sudah sangat lama dekat dengannya. Cukup sekali saja. Pacaran, begitu sakit rupanya.
Aku kembali kepada cinta pertamaku.
Kembali mengingatnya saat menunjukkan kepadaku jawaban yang benar itu sembari melukis senyum yang begitu indah di wajahnya.
Lalu kubuka mataku, mengangkat kepalaku dari atas meja kayu ini. Dan dia tak lagi ada untuk mengerjakan lembar demi lembar soal ujian di sampingku.
Tahun ke 7. Aku memperoleh lagi kabar tentangmu. Bahagianya aku. Mungkin ini adalah balasan Tuhan atas segala usahaku yang tak pernah putus asa memburu kabar tentangmu hampir setiap hari. Mencari-cari alasan agar aku dapat selalu memperoleh balasan pesan darimu.
Selama ini aku hanya menghibur diri dengan bayangnya. Ilusi yang kubuat sendiri. Terus-menerus mengulang kejadian 7 tahun silam untuk mengobati rasa rinduku. Kembali dan kembali kuingat. Dulu sekali, saat dia masih duduk di bangku sebelahku. Saat dia tersenyum sembari mengajariku jawaban secara diam-diam.
Sudah 7 tahun ini. Dan aku berhasil mengejarmu hingga ke kota ini, berharap dapat menemukanmu. Setidaknya kembali melihat senyummu walau hanya sekali saja. Dan mengungkapkan jika kau adalah cinta pertamaku. Aku tak peduli betapa murahnya diriku di depanmu. Yang jelas aku cinta padamu, aku ingin kembali bertemu denganmu. Aku ingin kau tahu, dadaku sesak saat aku mengingatmu. Setelah itu aku akan pergi jauh.
Aku telah mengagumimu 7 tahun lamanya. Menghibur diri dengan memutar ilusi yang akan menyoroti bayangan tentang hal yang kau lakukan di sampingku. Tepat di sebelah bangku yang aku duduki.
Aku tahu, kau sadar jika aku menyukaimu. Tak mungkin bila kau tak tahu, tentang aku yang terus memburu kabar tentangmu selama ini.
Entah kau tak melirikku karena kita berbeda pendirian, atau karena kau sama sekali tidak tertarik denganku. Yang aku tahu, kau begitu sulit untuk kuraih. Dan yang aku tahu cinta kita berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar